Selamat datang, Oohya!
Oohya! Demi Indonesia.
Hari-hari ini masyarakat berburu alat agar pesawat televisi analog mereka bisa menerima siaran televisi digital. Pemerintah telah mewajibkan televisi berpindah dari siaran analog ke siaran digital.
Ini berbeda dengan yang menimpa surat kabar. Pemerintah tak mewajibkan surat kabar meninggalkan edisi cetak lalu bermigrasi ke edisi digital, tapi perusahaan-perusahaan medialah yang secara sukarela karena pertimbangan bisnis, satu per satu meninggalkan cetak, pindah ke digital, dan tak pernah ada janji untuk kembali ke cetak. Beda dengan Saijah ketika hendak kabur dari desanya, ia berjanji kepada Adinda akan kembali.
“O ya, aku mendapat pikiran yang lebih baik; ... tunggulah aku di hutan jati, di bawah ketapang di mana kau memberiku kembali melati,” kata Saijah membuat janji untuk bertemu Adinda ketika pulang nanti, dalam kisah Max Havelaar yang ditulis Multatuli dan diterjemahkan oleh HB Jassin. Dulu Saijah kabur di Betawi. Sekarang di Betawi ada dua sosok di Bundaran HI, melambaikan tangan. Jangan-jangan itu Saijah dan Adinda yang bertemu di bawah pohon beton yang beberapa waktu lalu menjadi polemik, tidak jadi bertemu di bawah pohon ketapang.
Oohya! Survei WAN IFRA 2019, orang Indonesia ternyata masih mempercayai televisi (60 persen), koran (59 persen), dan majalah (57 persen). Yang memercayai informasi lewat mesin pencari di internet mencapai 40 persen, masih di bawah radio (55 persen) dan film (50 persen). Seperti halnya yang terjadi di Asia, yang mempercayai koran (34 persen), televisi (30 persen), dan majalah (29 persen). Penelitian memang terfokus ada tingkat kepercayaan iklan di media.
Survei AC Nielsen pada, pembaca koran di 11 kota besar di Indonesia pada 2019 ada 6,9 juta. Pada 2020 meningkat menjadi 12,9 juta. Diperkirakan karena kerja dari rumah, maka aktivitas membaca koran meningkat.
Oohya?
Oohya adalah kata sela untuk mengingatkan sesuatu. Saat asyik berbincang di lincak, tiba-tiba perut kapar, lalu berujar menyela obrolan. "Oohya! Mau minum kopi nggak?" Selain itu, dengan intonasi lain, oohya merupakan sikap skeptis ketika menerima informasi, untuk mendapatkan kepastian bahwa informasi yang terima benar. "Oohya? Kata siapa?" Maka, oohya! dipakai untuk nama rubrik ini.
Ada kolom-kolom sebagai penyangganya:
Sekapur Sirih, artinya kata pengantar. Dalam tradisi beberapa komunitas di Nusantara, ketika ada tamu, jamuan pembukanya adalah kapur sirih pinang. Maka, obrolan pun akan mengalir sambil menikmati kapur sirih. Sekapur Sirih ini jadi semacam tajuknya oohya! yang diisi seminggu sekali.
Pitan merupakan kegiatan emak-emak di waktu luang untuk mencari kutu rambut. Selama tekun mencari, mereka berbincang apa saja, termasuk gosip. Rubrik ini dipakai untuk membahas isu-isu terkini.
Lincak adalah dipan dari bambu atau yang biasanya ditaruh di bawah pohon depan rumah. Di Kaimana disebut para-para. Ada juga yang menyebutnya balai-balai. Serupa dengan itu ada berugak di Lombok, seperti gazebo. Di lincak, semua orang bisa bertemu membahas sesuatu, seperti pertemuan antarteman lama, mulai kisah masa lalu dikaitkan dengan pengalaman terkini. Bahkan pengalaman-pengalaman lucu pun. Lincak di sini akan diisi dengan cerita-cerita seperti itu.
Egek merupakan sistem hukum adat di Papua, untuk menjaga lingkungan. Egek di sini akan berisi cerita mengenai masyarakat dan lingkungan.
Kendeng adalah nama pegunungan kapur di Jawa Tengah, tempat yang cocok untuk hutan jati. Di masa lalu merupakan wilayah kekyasaan Aji Saka dengan Medang Kamulannya. Di masa kolonial, jadi benteng pertahanan Keraton Surakarta/Yogyakarta ketika berperang melawan Belanda yang menguasai pantai utara Jawa. Kendeng di sini berisi cerita-cerita dari wilayah Pegunungan Kendeng.
Oohya?
Jakarta, 10 November 2022