Menulis Buku, Agar tak Jadi Pemburu Scopus, kata Guru Besar Ilmu Komunikasi Unpad
Akhir-akhir ini ada sebutan nyinyir untuk para dosen, yaitu pemburu Scopus. Menurut guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Deddy Mulyana, hal Itu terjadi karena kewajiban yang dibebankan kepada para dosen untuk menulis di jurnal Scopus Q1, daripada menulis buku ilmiah.
“Bahkan ada universitas yang memberi poin buku hanya 18 persen dari artikel jurnal Scopus dan hanya dapat poin 2,6 dari artikel di koran,” kata Deddy dalam acara bedah buku Teori-Teori Komunikasi karyanya, di kampus Pascasarjana Fikom Unpad, Rabu (14/8/2024). Buku itu diterbitkan Penerbit Simbiosa Bandung.
Deddy menyebut, fenomena berburu Scopus hanya terjadi di negara-negara berkembang. Untuk bisa dimuat, para penulis dipungut biaya yang nilainya bisa mencapai puluhan juta. Hal, yang menurut Deddy sesuatu yang aneh.
Oohya! Baca juga ya: Jangan Membaca Buku Lebih dari 1,5 Jam Hai Mahasiswa, Ini Tip Membaca Belajar-Kritis
Mengapa para dosen harus menulis karya untuk dimuat di jurnal ilmiah? Menurut Deddy ada dua penyebabnya.
Pertama untuk memenuhi kewajiban. Kedua, karena tuntutan dari universitas agar bisa masuk universitas kelas dunia.
Deddy menganggap, buku masih penting sebagai karya ilmiah. Ada banyak buku yang terbit di masa lalu masih terus diterbitkan hingga kini.
Di Indonesia, kata Deddy, ada buku Pengantar Ilmu Antropologi karya Koentjaraningrat, ada Pengantar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo, ada Psikologi Komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat. Di Barat, lanjut Deddy, ada Suicide karya Emile Durkheim yang terbit akhir abad ke-19 dan hingga kini masih diterbitkan.
Ada pula Orientalism karya Edward Said, dan sebagainya. Di ilmu komunikasi ada buku-buku karya Stephen W Littlejohn. Dan sebagainya.
Menurut Deddy, ada banyak penulis buku di Barat yang juga menulis jurnal, tetapi lebih dikenal sebagai penulis buku. “Di Amerika, buku ditulis oleh professor madya dan profesor penuh,” kata Deddy.
Di Amerika, kata Deddy, ada semboyan, tidak ada orang yang jadi profesor sebelum menulis buku. “Di Malaysia, buku sangat dihargai. Untuk menjadi profesor madya perlu dua buku sebagai syarat, selain jurnal bereputasi. Perlu empat buku professor madya ke professor penuh,” kata Deddy.
Di Indonesia, kini tak ada profesor madya. Jenjangnya langsung profesor penuh dengan syarat menulis di jurnal Scopus Q1. Deddy mengimbau agar penulis buku dihidupkan kembali.
“Menulis buku itu lebih nikmat. Bukan karena cuan. Dulu enak. Sampai sempat bisa umrah sekeluarga. Sekarang alami degradasi,” ujar Deddy.
Apa nikmatnya menulis buku? Menulis makalah untuk jurnal paling hanya beberapa bulan, menulis arikel di koran paling hanya sehari, menulis bisa bisa setahun dua tahun.
Menulis buku, menurut Deddy ada kepuasan batin, ketika buku-bukunya digunakan di berbagai kampus. Bukunya dibedah. Mana ada karya jurnal yang dibedah? (pry)