Parade 16 Perahu, Perempuan Nelayan Lawan Eksploitasi Pesisir Rusak Kehidupan
Perempuan nelayan di Demak yang tergabung di Puspita Bahari ikut dalam aksi Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) pada 25 November-10 Desember 2025. Kegiatan ini juga sekaligus untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia.
Puspita Bahari, organisasi perempuan nelayan di Kabupaten Demak, melakukan aksi lewat Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan dan Rembuk Pesisir. Dalam kegiatan ini, perempuan nelayan menyampaikan langsung pengalaman dan harapan mereka akibat eksploitasi pesisir yang merusak kehidupan mereka.
Hidayah, dari Desa Morodemak ,menuturkan, akses yang rusak menyulitkan pendampingan korban. “Saya pernah berjalan di tengah banjir rob sampai Pasar Gebang karena tidak ada kendaraan yang bisa lewat. Rob bukan hanya merendam rumah, tapi juga melumpuhkan ekonomi,’’ ujar Hidayah di Rembuk Pesisir yang diadakan di Dukuh Tambakpolo dalam siaran pers Puspita Bahari, Senin (1/12/2025).
Nurikah, dari Dukuh Tambakpolo, menggambarkan kerentanan nelayan akibat kerusakan alat tangkap dan minimnya akses layanan. “Pernah seorang perempuan disabilitas melahirkan di tengah laut karena jalan darat tak bisa dilewati,” ujar Nurikah yang pernah kehilangan jaring rajungan karena jaringnya terseret alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Sementara itu, Lasmiyah dari Dukuh Timbulsloko, menegaskan, kampung mereka terus tenggelam akibat proyek pembangunan. “Sawah hilang, akses rusak, dan setiap tahun kami harus meninggikan rumah. Reklamasi dan jalan tol membuat keadaan makin buruk,” ujar Lasmiyah.
Suara-suara ini menunjukkan bahwa perempuan nelayan berada di garis depan dampak krisis iklim dan pembangunan yang merusak pesisir. Mereka menuntut perhatian dan tindakan nyata dari negara untuk memulihkan ruang hidup dan penghidupan yang hilang.
Selain di Dukuh Timbulsloko, kegiatan juga diadakan di perairan Morodemak. Puspita Bahari mengambil tema kegiatan: “Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan: Melawan Eksploitasi Pesisir yang Merusak Kehidupan”.
Ketua Puspita Bahari Masnuah menyoroti kerusakan wilayah pesisir melalui berbagai proyek alih fungsi lahan, reklamasi, tambang pasir laut, dan investasi pariwisata. Pemerintah masih menjai aktor utamanya.
“Kami mendesak negara menghentikan proyek-proyek ekstraktif dan eksploitatif di pesisir yang mengancam keberlangsungan hidup perempuan nelayan dan generasi masa depan,” kata Masnuah.
Masnuah menjelaskan, Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan diselenggarakan sebagai ruang kampanye dan konsolidasi gerakan perempuan pesisir. Melalui kegiatan ini, Puspita Bahari mendorong peningkatan kesadaran publik mengenai dampak pembangunan ekstraktif dan krisis iklim terhadap perempuan nelayan.
Parade juga ditujukan untuk memperkuat gerakan perempuan Demak sebagai bagian dari gerakan perempuan dan HAM di Indonesia. Juga untuk menyerukan pencegahan kekerasan berbasis gender di wilayah pesisir.
Parade 16 perahu menjadi simbol keterhubungan antara gerakan akar rumput dan Gerakan Global 16 HAKtP. Juga sebagai bentuk solidaritas perempuan di seluruh dunia yang memperjuangkan keadilan ekologis dan perlindungan dari kekerasan.
Parade ini sekaligus menjadi pengingat bagi negara mengenai tanggung jawab pemulihan desa-desa pesisir yang terdampak kerusakan lingkungan dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Perempuan nelayan di pesisir Demak menghadapi dampak berlapis dari kerusakan ekologis dan pembangunan ekstraktif.
Menurut Masnuah, desa-desa pesisir perlahan tenggelam, banjir rob semakin sering dan meluas, sementara rumah serta mata pencaharian hilang satu per satu. Situasi ini semakin memperburuk kerentanan perempuan yang harus menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan air bersih, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perkawinan anak, serta tekanan ekonomi yang berat.
Situasi ini menegaskan bahwa kerusakan pesisir dan hilangnya penghidupan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan. Akibatnya, nelayan dan perempuan nelayan harus melaut lebih jauh, menanggung biaya operasional tinggi, dan tetap pulang dengan hasil tangkapan yang semakin sedikit.