Egek

UU KSDAHE Dinilai Berpotensi Sahkan Perampasan Ruang Laut

Masyarakat pesisir di Tangerang membongkar pagar lait. mereka tak mau terpinggirkan oleh kehadiran PIK. Di Manado, muncul kekhawatiran terhadap UU KSDAHE yang dinilai berpotensi sahkan perampasan ruang laut. bagaimana nasib masyarakat adat dan masyarakat pesisir nantinya? Sumber: priyantono oemar

Sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas pesisir di Sulawesi Utara menyoroti potensi besar perampasan ruang laut dan pesisir. Bahkan, seorang perempuan nelayan dari Manado bersaksi mengenai dampaknya bagi kehidupan masyarakat pesisir.

“Kami tidak menolak konservasi, tapi jangan jadikan konservasi sebagai alasan untuk memiskinkan kami dan mengambil laut yang menjadi ruang hidup kami turun-temurun,” kata Restin, perempuan nelayan itu, di diskusi bertajuk “Menyingkap Potensi Perampasan Ruang Laut Pasca Terbitnya UU KSDAHE” yang diadakan di Manado, Kamis (13/11/2025).

Potensi perampasan itu itu disebut bisa muncul setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) disahkan. Sorotan itu muncul dalam diskusi bertajuk “Menyingkap Potensi Perampasan Ruang Laut Pasca Terbitnya UU KSDAHE” yang dihadri Restin.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“UU KSDAHE seolah menawarkan pembaharuan dengan memasukan beberapa ketentuan di dalamnya, tapi ketika dibaca satu per satu justru semakin membingungkan dan berpotensi membuka ruang untuk terjadinya ancaman kepada masyarakat adat dan komunitas lokal,” ujar Muhammad Ihsan Maulana dari Working Group ICCA’s Indonesia (WGII).

Diskusi itu diselenggarakan oleh Working Group ICCA’s Indonesia (WGII), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Perkumpulan Kelola Manado, bekerja sama dengan Forum Nelayan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Manado (FNPPM). Diskusi berlangsung di Sekretariat FNPPM, Kampung Kinamang, Malalayang, Manado, Kamis (13/11).

Diskusi menilai, kebijakan konservasi nasional masih berpotensi memperluas konflik ruang. Juga, mengabaikan hak masyarakat adat dan lokal, dan membuka peluang bagi eksploitasi ekonomi di kawasan konservasi.

Muhammad Ihsan Maulana menyebut, beberapa frasa yang bermasalah. Antara lain, “areal preservasi”, pengaturan jasa lingkungan, sanksi pencabutan hak atas tanah hingga ganti kerugian, sebagai hal yang bisa menjadi ancaman bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.

Sanksi di Pasal 9 UU KSDAHE, misalnya. “Bagi setiap orang di areal preservasi yang tidak melakukan upaya konservasi, yang bersangkutan harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti kerugian. Belum lagi pengaturan jasa lingkungan yang selama ini potensi menimbulkan konflik di masyarakat” ujar Muhammad Ihsan Maulana.

Erwin Suryana dari Koalisi Rakyat untuk keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti adanya potensi perampasan ruang di laut yang dsering disebut ocean grabbing. Adanya skema pendanaan untuk konservasi berkelanjutan yang dijadikan ladang investasi seperti perdagangan karbon.

Area-area yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini sangat minim konsultasi publik dan partisipasi masyarakat. Ini bisa mempengaruhi ruang hidup masyarakat pesisir karena area-area yang telah diatur tidak bisa diotak-atik oleh masyarakat itu sendiri.

“Bacaan dari kami, undang-undang baru ini masih menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek, sehingga masyarakat pesisir masih terancam,” tegas Erwin Saputra.

Diskusi ini juga membahas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PUU-XXII/2024 terkait uji formil UU KSDAHE. Proses pembentukan undang-undang tersebut minim partisipasi publik.

Berita Terkait

Image

Pemberian HGB dan SHM Pagar Laut, Kiara: Perampasan Ruang Laut

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com