Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Klaim Bahwa Habib di Indonesia Bukan Keturunan Nabi Tidak Ilmiah

Agama | 2024-01-19 05:49:56

Klaim Bahwa Habib di Indonesia Bukan Keturunan Nabi Tidak Ilmiah

Oleh: Muhamad Izuddin, Lc

Mahasiswa Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah

Beberapa waktu yang lalu sempat viral dalam media sosial mengenai isu para habib yang ada di Indonesia bukanlah keturunan Rasulullah. Viralnya isu ini bermula dari pernyataan Kiai Imaduddin Usman dalam artikel hasil penelitiannya yang bertajuk, Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti Secara Ilmiah. Secara ringkas, Kiai Imaduddin Usman mengatakan bahwasannya Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidy tidak mempunyai anak yang bernama Ubaidillah sebagai ayahanda dari Ba’Alawi, leluhur para Habib yang ada di Indonesia. Sontak, tuduhan yang tidak lazim tersebut menjadi viral serta menjadi polemik , karena selain temuan itu tidak lazim, juga berbeda dengan pandangan umat Islam Indonesia secara umum. Pertanyaan yang segera muncul dengan sendirinya adalah ada apa gerangan ? Apakah Kiai bersangkutan tersebut bermaksud mencari kebenaran, atau untuk menilai fakta secara terbalik ?

Namun sebelum menjawab isu yang masih hangat ini, mari kita kembali sejenak kembali ke awal mula kedatangan leluhur para Habib di Indonesia. Mengutip dari Jurnal Multicultural of Islamic Education, pada tahun 1880 orang-orang etnis Arab dari Yaman mendatangi kawasan Indonesia (Hindia Belanda saat itu) dan menyebar ke berbagai wilayah. Para pendatang inilah yang di kemudian hari dikenal luas sebagai habib-habib di Indonesia. Orang-orang ini juga mengaku sebagai keturunan Nabi Muhamad. Nama mereka tercatat dalam Rabithah Alawiyyah sebagai keturunan Nabi dari jalur Ba’alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidli al-Husaini.

Belakangan ini, Kiai Imaduddin Usman, seorang ulama asal Banten melakukan kajian kritis terhadap silsilah keturunan para habib melalui kitab-kitab Ansab terdahulu. Bagian sentral tuduhan Kiai Imaduddin Usman ialah keterputusan Ubaidillah dan anaknya Ba’alwi dalam mata rantai keturunan Rasulullah. Bahwasannya Kiai Imaduddin Usman tidak menemukan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib al-Husaini pada tujuh kitab al-Ansab terdahulu yang ditelitinya. Nama Ba'alawi dan Ubaidillah baru ditemukan pada karangan-karangan kitab Ansab abad 13 Hijriah ke atas. Lebih lanjut, menurut Kiai Imaduddin, para pentahqiq kitab-kitab Ansab pada abad 1 Hijriah itu telah melakukan semacam pemalsuan dengan memasukkan nama Ubaidillah beserta anaknya, Ba’alawi dalam silsilah keturunan Ahmad Isa. Tuduhan ini dikarenakan kedua nama itu tidak pernah ada sebelumnya pada kitab-kitab Ansab terdahulu. Dengan kata lain, para Habaib yang ada di Indonesia bukanlah keturunan Nabi karena datuk mereka Ba’alawi bin Ubaidiilah maqtu’ dalam silsliah keturunan Nabi.

Lantas, bagaimana dengan penilitian “ilmiah” Kiai Imaduddin ini? apakah para Habib bukanlah keturunan Nabi? Apakah selama ini masyarakat Indonesia telah tertipu secara massal? Bahwa kita selama ini menghormati orang yang salah?

Pertama-tama, saya tekankan terlebih dahulu ada banyak kemungkinan mengapa Ubaidillah tidak disebutkan pada beberapa kitab Ansab terdahulu yang diteliti oleh Kiai Imaduddin. Tidak melulu karena adanya pemalsuan. Mulai dari persoalan teknis seperti masalah nuskhah (percetakan), bagian yang hilang, atau faktor lainnya seperti keterbatasan para penulis, atau bisa jadi penulis kitab memang sengaja tidak membahasnya. Kemungkinan lainnya juga bisa karena kesalahan sang pembaca dalam memahami teks kitab Ansab tersebut.

Di sisi lain, hasil temuan dari kajian Kiai Imaduddin ini tidak bisa serta merta menegasikan kitab-kitab Ansab abad 13 Hijriah. Apalagi dengan menuduh para pentahqiq kitab tersebut telah melakukan pemalsuan hanya karena berlandas penemuannya itu. Tentu saja yang namanya tuduhan butuh bukti. Tidak adanya nama Ba’alawi dan Ubaidillah itu satu hal, para pentahqiq melakukan pemalsuan itu hal yang lain.

Adapun kitab-kitab yang mencantumkan nama Ubaidillah dan Ba’alawi di antaranya antara lain: Nubzat Latifah fi Silsilati Nasabil Alawi karangan Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karangan Umar bin Salim al-Attas dan Syamsu al-dzahirah karangan Muhammad bin Husein al-Amasyhur.

Di samping tuduhan Kiai Imaduddin yang lemah ini, saya pribadi menemukan adanya beberapa distorsi kognitif pada Kiai Imaduddin seputar “penelitiannya” ini.

Pertama, paradigma yang harus dibangun oleh kita semua adalah tidak semua yang tidak diketahui artinya tidak ada. Sejak dari zaman kapanpun, tidak ditemukan/tidak diketahui tidak pernah berarti tidak eksis/tidak ada. Apabila ada seorang teman yang meminta “tolong ambilkan pulpen saya di kelas yang tertinggal” kemudian setelah dicari ternyata tidak ditemukan bukanlah berarti pulpen tersebut memang tidak ada di kelas. Bisa jadi orang yang diminta untuk mencarikan pulpen tersebut kurang teliti Begitupun halnya dengan tuduhan yang dilayangkan oleh Kiai Imaduddin dan siapapun pengekor pendapatnya, nama Ubaidillah bin Ahmad yang tidak dapat ditemukan oleh Kiai Imaduddin pada kitab-kitab Ansab terdahulu itu tidak bisa serta merta menjustifikasi para Habib yang ada di Indonesia adalah palsu.

Kedua, terdapat kegagalan berpikir yang dilakukan Kiai Imaduddin dalam klasifikasi antara berbeda dengan bertentangan. Dalam ilmu Mantiq, terdapat perbedaan antara aks (عكس) dengan tanaqud (تناقض). Secara sederhana, sekalipun keduanya mempunyai arti besar yang mirip yaitu berbeda, namun aks bukan berarti bertentangan. Dengan kata lain, Berbeda bukan berarti bertentangan. Pemahaman Kiai Imaduddin mengenai berbeda dan bertentangan seakan bercampur. Bahkan pada kitab yang sama dengan nuskhah yang berbeda bisa terjadi perbedaan yang dramatis, apalagi dua kitab yang berbeda?

Sebagai penjelas mari kita ambil contoh pada kitab Syajarah al-Mubarakah karya al-Razi, menyebutkan beberapa nama pada Ali al-Uraidli mulai dari Muhammad, Ahmad Sya’rani, Hasan, Qasim dan lainnya. Sedangkan pada kitab Umdah al-Talib karya Jamaluddin bin Ali hanya menyebutkan empat anak saja. Lantas apakah artinya Jamaluddin menyalahi pendapat al-Razi? Apakah syaikh Jamaluddin sedang mencoba mengklarifikasi jumlah anak Ali Uraidli hanya empat saja?

Ketiga, mengutip dari pernyataan Harman Al-Idrus, menurutnya Kiai Imaduddin banyak melakukan kesalahan dalam interpretasi teks. Menurutnya adanya distorsi kognitif terhadap teks yang dikajinya atau subjektivitas tinggi. Misalnya pada intrepretasinya pada kitab al-Majdi fi Ansab al-Talibin karya Sayyid Syarif Najmuddin Ali yang dipahami Kiai Imaduddin tersebut sebagai bukti lainnya bahwa para Ulama tidak mengakui Ubaidillah dan Alawi sebagai Putera dan cucu Ahmad bin Isa. Keterangan tersebut, menurut Harman al-Idrus adalah penggiringan opini serta kesalahpahaman Kiai Imaduddin dalam memahami teks. Menurutnya, Najmuddin Ali memang dengan sengaja hanya mengangkat Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri tanpa yang lainnya. Misalnya untuk tujuan memperingkas atau menghighlight ketokohan tertentu. Jadi, apapun yang diterjemahkan Kiai Imaduddin berunsur subjektifitas atau adanya kegagalan kognitif.

Lantas mengapa tidak diadakan tes DNA saja terhadap para habib? Bukankah dengan data empiris persoalan ini selesai? Saya katakan tes DNA mungkin saja tidak seperti yang dibayangkan banyak orang. Perlu untuk dipahamai, tes DNA tidak mengenal batasan negara modern, tes DNA juga tidak sama dengan Geneologi. Bahkan dalam suatu pengujian yang dilakukan Perusahaan 23andMe terhadap saudara kembar pernah mendapati pelanggan yang mempunyai 13% gen Broadly Europan, sementara saudara kembarnya hanya mempunyai 3% Broadly European dan mempunyai gen etnis Eropa lainnya lebih besar. Tes DNA secara sederhana adalah untuk menguji siapa sebenarnya kamu dan seberapa besar koneksi kamu dengan dunia, bukan untuk menelusuri siapa sebenarnya leluhurmu.

Maka dari itu, saya katakan pernyataan yang dilontarkan Kiai Imaduddin agar para Habib yang ada di Indonesia melakukan tes DNA adalah pernyataan blunder. Hal ini juga berlaku bagi siapa saja yang menyuarakan perlunya tes DNA terhadap para Habaib. Terlebih, dibandingkan dengan mencoba mencari kebenaran, permintaan seperti ini lebih ke arah terdengar seperti mencoba mencari kesalahan. Teruntuk masyarakat Awam yang tidak mengerti mengenai Ilmu Nasab seyogyanya untuk tidak ikut-ikutan terpancing apalagi menjustifikasi. Persoalan ini lebih kompleks dari pada yang kita pikirkan. Maka dari itu saya katakan:

Guntur langit yang bergumam Menyapa Bumi dengan gelegar

Jika anda ragu sebaiknya diam Jika anda yakin silahkan berkabar

Referensi:

1. Fakhruddin al-Razi. Syajarah al-Mubarakah, Tahqiq: Sayyid Mahdi al-Raja’I (Iran, Markaz Samahah Ayatullah Udzma, 1998).

2. Jamaluddin Ali. Umdah al-Talib as-Sugra fi Nasb Ali Abi Talib, Tahqiq: Sayyid Mahdi al-Raja’i (Iran, Markaz Samahah Ayatullah Udzma, 2009).

3. Tawbih, Miftahul. Historiografi Etnis Arab di Indonesia, (Pasuruan: Journal Multicultural of Islamic Education, Vol.5, No.2, April 2022).

4. https://dorar.net/h/jMuBddxa

5. https://geotimes.id/catatan-syafiq-hasyim/menyoal-genealogi-habib-di-indonesia-ke-rasulullah-bukti-ilmiah-kyai-imaduddin-utsman/

6. https://www.indonesiakitanews.com/menguji-metodologi-dan-mempertanyakan-moral-ilmiah-kh-imaduddin-utsman-albantani/

7. https://www.vox.com/science-and-health/2019/1/28/18194560/ancestry-dna-23-me-myheritage-science-explainer

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image