Lincak

Napoleon, Daendels, dan Ramalan yang Diterima Diponegoro bahwa Jawa Memasuki Masa Kehancuran pada 1808

Patung Marsekal HW Daendels dengan Pangeran Kornel di sisi jalan raya pos Cadas Pangeran, Sumedang, Jawa Barat. Mas Kalak (Marsekal) ini dikenal sebagai sosok yang menyengsarakan bangsa Indonesia.

Film Napoleon sedang diputar di Indonesia sejak 29 November 2023. Marshall (Marsekal) Herman Willem Daendels menjadi pengikut setia Napoleon yang berangsur-angsur menjauh dari cap sebagai seorang demokrat ketika memimpin di Hindia Belanda.

“Ia berusaha agar kepentingan militer menjadi soal yang terutama dalam pemerintahannya. Segala sesuatu dilaksanakan dengan kekejaman, kekerasan yang melampaui batas kemanusiaan,” tulis tim 100 Tahun Wafatnya Pangeran Diponegoro.

Napoleon Bonaparte meniti karier di militer. Pada saat ia menaklukkan Mesir, berembus kabar perselingkuhan istrinya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Permintaan Doni Monardo Selaku Ketua Satgas Covid-19 kepada Badan Bahasa, Carikan Padanan Istilah dalam Waktu 24 Jam

Ia pun pulang ke Prancis untuk memastikan informasi itu. Maka, Napoleon pun diserang sebagai sosok yang tak fokus mengurus militer. Napoleon pun difitnah akan berkhianat.

Marah akibat fitnah ini, Napoleon memperlihatkan ambisi militernya. Ia pun melakukan kudeta, sehingga bisa menduduki posisi pemimpin pemerintahan pada 1798.

Dengan kemampuan militernya, Napoleon terus melaju hingga pada 1804 ia menjadi Kaisar Prancis. Pada 1806, Napoleon menunjuk adiknya sebagai penguasa Belanda.

Hindia-Belanda pun lantas berada di bawah kekuasaan Prancis. Napoleon mengirim Daendels menjadi gubernur jenderal di Hindia-Belanda pada 1808.

Tiga tahun sebelumnya, pada 1805, Diponegoro menerima bisikan gaib. Isinya berupa ramalan Jawa akan memasuki masa kehancuran tiga tahun kemudian.

Rupanya, kedatangan Daendels adalah awal kehancuran Jawa. Mulanya, Daendels dikenal sebagai seorang demokrat, namun setelah menjadi pengikut setia Napoleon, ia pun meniru tindakan-tindakan Napoleon.

Oohya! Baca juga ya: Dipimpin Raja Muda Belia Sultan Hamengkubuwono IV, Keraton Yogyakarta Alami Kemerosotan Moral

Di Hindia-Belanda, Daendels menjadikan anak-anak muda pribumi sebagai serdadu. Ia beri pakaian dan senjata, ia latih ala serdadu Eropa, tapi ia gaji dengan jumlah jauh di bawah gaji serdadu Eropa.

Pemimpin-pemimpin Madura, Minahasa, Dayak, Bugis, ia minta mengirimkan anak-anak mudanya untuk dilatih sebagai serdadu kolonial. Ketika jumlahnya belum mencukupi, Daendels pun tak segan mengeluarkan paksaan dengan ancaman.

“Pemimpin yang mengirim serdadu paling banyak diberikannya hadiah dan mereka yang tidak suka membantunya dipecat atau dibunuh,” tulis tim 100 Tahun Wafatnya Diponegoro.

Tidak terima perlakuan Daendels, di Manado pun muncul pemberontakan. Bupati Sampang yang mengirimkan banyak pemuda, mendapat ganjaran diangkat menjadi sultan.

“Sudah barang tentu pangkat yang dicapai oleh penduduk asli ini tak lenih tinggi dari kopral atau onder-opsir, sedangkan opsir-opsirnya bangsa Belanda pun bukannya orang yang bersekolah tinggi,” tulis tim 100 Tahun Wafatnya Diponegoro.

Jika di Eropa, orang-orang Eropa itu kariernya mentok di pangkat kopral, ketika mereka bertugas di Hindia-Belanda bisa menjadi opsir. Padahal, banyak opsir yang tidak bisa menuliskan namanya.

Serdadu-serdadu Eropa yang buta huruf itu memimpin serdadu-serdadu pribumi. Dengan serdadu-sedradu itu ia mempertahankan kolonialisme di Indonesia.

Oohya! Baca juga ya: Antisipasi Perubahan Iklim dengan Gaya Hidup Sehat, Bagaimana Caranya?

Untuk kepentingan militer pula, Daendels kemudian membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan, yang dikenal sebagai jalan raya pos. Banyak tenaga kerja Indonesia yang menjadi korban pembangunan jalan ini.

Penduduk Indonesia dipekerjakan secara paksa. Mereka tidak dibayar sepeser pun. Peser merupakan nilai terkecil dalam mata uang Belanda.

Pada masa itu, satu peser setara dengan 0,5 sen. Jika ada 100 sen, mulai tahun 1854 disetarakan dengan satu gulden. Sebelumnya, satu gulden setara dengan 120 duiten. Pada 1833, satu duiten disebut sama dengan satu gulden.

“Kekejaman di zaman Daendels ini sudah barang tentu menimbulkan kebencian di antara penduduk asli. Terutama setelah Daendels menjalankan tindakan-tindakan yang pada pokoknya menurunkan derajat dan kehormatan para raja, maka kebencian itu semakin memuncak,” tulis tim 100 Tahun wafatnya Dipinegoro.

Oohya! Baca juga ya: Belanda Tuduh Diponegoro Bunuh Hamengkubuwono IV, Ini Kata Diponegoro dan Cakranegara

Ketika Inggris menyerbu Batavia, dengan mudahnya Inggris menaklukkan tentara Belanda. Inggris pun menguasai Batavia pada 1811 lalu menguasai Jawa pada 1812.

Bangsa Indonesia memiliki kenangan buruk terhadap Marsekal Daendels yang juga dikenal sebagai Mas Kalak ini. Napoleon memanggilnya pulang sebelum Inggris merebut Batavia. Mas Kalak mengirim gubernur jenderal baru, Jan Willem Janssens yang lemah lembut.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
100 Tahun Wafatnya Pahlawan Diponegoro karya Kementerian Penerangan RI (1955)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Berapa Sekedup Unta yang Bawa Jamaah Haji Indonesia ke Makkah?

Image

Kenapa Baju Calhaj Indonesia Kudu Diasapi di Pulau Kamaran, Yaman?

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?